Om Swastyastu, Om Awignam Astu Namosidham, Om Anobadrah Kratavo Yantu Wisvatah (Ya Tuhan semoga segala kebajikan datang dari semua arah), Pendengar sedharma yang berbahagia, Puja dan Puji syukur patut kita haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (TYME) karena kita masih berkesempatan untuk berjumpa pada acara Renungan Agama Hindu yang disiarkan melalui RRI Nabire. Adapun Tema kita malam ini adalah TRADISI WEDA”
Pendengar sedharma yang saya cintai,
Nilai-nilai suci Weda yang disebut Widhi itu maha sempurna. Sedangkan manusia yang mengamalkan nilai suci itu penuh dengan keterbatasan. Karena itu pengamalan ajaran suci Weda itu mengalami pasang surut. Pasang surut penerapan ajaran suci Weda itu perlu dikendalikan agar jangan sampai jauh dari intinya.
Pendengar sedharma,
Memang akan selalu terjadi perbedaan antara idialisme Weda dan aplikasinya dalam tradisi. Namun perbedaan itu janganlah terlalu jauh menyimpang dari intinya. Ibarat rapor seorang murid sangatlah sulit menemukan rapor murid dengan nilai sepuluh untuk semua pelajaran. Kalau dapat mencapai nilai tujuh rata-rata itu sudah cukup baik. Murid yang mendapat nilai rata-rata tujuh pasti memenuhi syarat untuk naik kelas. Tradisi Weda juga demikian. Janganlah sampai tradisi itu terlalu jauh dengan intinya. Kalau diumpamakan seperti rapor murid tadi janganlah sampai nilainya dibawah angka lima misalnya.
Pendengar sedharma dimanapun anda berada,
Disamping itu tradisi Weda juga harus selalu dihadirkan untuk menjawab tangtangan jaman yang terus berkembang dan berubah. Di dalam ajaran suci Weda sudah terdapat konsep-konsep yang kontektual dan aktual. Konsep yang kontektual dan aktual itu untuk mengatasi setiap perubahan jaman agar kembali pada kondisi jaman menurut idealnya.
Pendengar umat Sedharma,
Tanda-tanda setiap jaman sudah diperidiksi jauh sebelumnya oleh kitab suci Weda dan kitab-kitab Sastranya. Karena itu di dalam kitab Manawa Dharmasastra I.86. sudah ditentukan cara beragama yang paling idial dan tepat untuk setiap jaman. Misalnya pada jaman Kerta cara beragama yang paling tepat adalah dengan jalan ber "Tapa". Tentunya sangat berbeda dengan cara beragama jaman sekarang, yaitu jaman Kali misalnya. Jaman Kali yang paling dianggap bernilai oleh manusia adalah uang. Karena itu kitab Manawa Dharmasastra menetapkan cara beragama yang paling tepat adalah dengan cara ber "Dana Punia".
Pendengar sedharma yang berbahagia,
Untuk menumbuhkan niat ber "Dana Punia" pada jaman Kali ini sangat dianjurkan oleh Swami Satya Narayana untuk melakukan Pujanam dan Sevanam. Pujaman artinya meningkatkan dan menajamkan kembali kegiatan bhakti pada Tuhan. Sevanam artinya berbhakti pada Tuhan, itu juga diwujudkan dengan melakukan pengabdian pada sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Tradisi beragama jaman Kali ini tentunya sangat berbeda dengan tradisi beragama pada jaman Dwapara misalnya.
Pendengar sedharma,
Pada jaman Dwapara, cara beragama yang paling ditekankan adalah dengan Upacara Yadnya. Ini artinya Upacara Yadnya itulah yang menjadi tumpuan tertinggi dalam mengamalkan tradisi Weda jaman Dwapara. Karena itu pada jaman Dwapara Upacara Agama dilangsungkan sangat meriah dan megah. Ketika memasuki jaman Kali tradisi Upacara yadnya itu bukanlah berarti ditinggalkan begitu saja. Esensi Upacara Yadnya tetap sebagai tumpuan kehidupan beragama, namun wujud luarnya harus disesuaikan. Esensi dari Upacara Yadnya itulah yang lebih ditekankan.
Pendengar Sedharma yang Saya Banggakan,
Esensi Upacara Yadnya adalah mendekatkan umat dengan alam lingkunganya, dengan sesama manusia dan pendekatan yang tertinggi adalah kepada kesucian dan keagungan Tuhan. Inilah cara merawat tradisi Weda. Nilai tradisi yang sudah ada diteruskan dengan perubahan paradigma serta diperkaya oleh kebutuhan jaman selanjutnya. Artinya tradisi beryadnya pada jaman Dwapara tetap dilanjutkan esensinya namun diperkaya oleh cara beragama pada jaman Kali.
Pendengar umat Sedharma,
Dengan demikian esensi nilai-nilai Upacara Yadnya pada jaman Dwapara tetap berlanjut. Namun dalam wujudnya telah mengalami inovasi dengan diperkaya oleh cara beragama pada jaman Kali. Dengan cara ini tradisi Weda tidak akan pernah menimbulkan kejenuhan. Karena dalam tradisi tersebut ada nilai-nilai yang berlangsung secara kontinue. Dalam kesinambungan nilai itu ada proses inovasi dalam penampilan dan pengkayaan nilai. Konvergensi dua nilai itulah yang membutuhkan penampilan yang inovatif, sehingga selalu dapat mengikuti perjalanan jaman. Dalam tradisi Hindu di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya sudah memiliki sistem yang memberikan peluang untuk memelihara tradisi Weda dengan baik, Cuma peluang tersebut kurang dimanfaatkan.
Pendengar sedharma dimanapun anda berada,
Seperti adanya Hari Raya Agama dan Puja Wali di Pura ada yang setiap tahun, ada yang setiap setengah tahunan. Perayaan tahun yang sebelumnya dan tahun berikutnya haruslah terus ditingkatkan kualitas spiritual. Dengan demikian perayaan tersebut akan selalu mendekati konsep kitab suci. Perayaan sebelumnya hendaknya dijadikan dasar untuk menilai apa kekurangnya. Kalau ada yang masih jauh dengan konsep kitab suci pada perayaan selanjutnya dapat disempurnakan. Berbagai kekurangan itu lambat laun akan semakin mengecil, dengan demikian tradisi Weda terus dapat dipelihara kemurnianya.
Pendengar sedharma yang saya cintai,
Inilah yang dapat saya sampaikan, semoga renungan ini dapat memberi manfaat bagi kita dalam menjaga sakralisasi serta aktualisasi ajaran weda yang menjadi pedoman kita dalam beragama. Dan akhir kata;
“Om Loka Samastha sukhino bhawantu”
Ya Tuhan semoga seluruh isi alam berbahagia”
OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM .
....................................................................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar